Cerita Dibalik Bendera Pusaka RI yang Tidak Diketahui Banyak Orang
Cerita Dibalik Bendera Pusaka RI yang Tidak Diketahui Banyak Orang - Kami Nusantara Cleaning salah satu perusahaan jasa cleaning service di Bandung, yang bergerak pada jasa cleaning service rumah, kantor, sekolah, pabrik, jasa poles marmer, jasa poles teraso, jasa poles granit, jasa poles acian, jasa poles tegel, jasa poles kerami, jasa bersih gedung, jasa salon toilet, jasa pembersihan kamar mandi, jasa cuci karpet, jasa coating vinnyl dan parket Cleaning Service dan Poles Lantai, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Cerita Dibalik Bendera Pusaka RI yang Tidak Diketahui Banyak Orang, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan
Artikel Berita Dalam Negri,
Artikel Nusantara, yang kami tulis ini dapat memberi manfaat. baiklah, selamat membaca.
Judul : Cerita Dibalik Bendera Pusaka RI yang Tidak Diketahui Banyak Orang
link : Cerita Dibalik Bendera Pusaka RI yang Tidak Diketahui Banyak Orang
Seorang pelaku sejarah, Brigjen TNI (Purn) Lukas Kustaryo menuturkan bagaimana lika-likunya saat ia berupaya mencari kain merah untuk bendera pusaka. Konon, ide ini pun muncul secara tiba-tiba. Kala itu dari kancah romusha di Bayah, Banten Selatan, Shodanco Lukas diberi tugas secara inkognito membawa surat pribadi Tan Malaka untuk Bung Karno di Jakarta.
Sesampainya di Jl. Pegangsaan Timur no. 56, Kustaryo melihat Ny. Fatmawati menjahit bendera merah putih. Saat itu bulan Agustus 1945, para tokoh pergerakan memang sudah terlihat sibuk mempersiapkan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Apalagi di kediaman Bung Karno terlihat kesibukan yang tidak seperti biasanya.
“Tapi saya lihat benderanya terlalu kecil, kira-kira hanya berukuran panjang setengah meter. Dalam hati saya berkata, kayaknya nggak pantas. Untuk proklamasi kok benderanya tak begitu bagus,” begitu ujar Kustaryo.
Karena tidak tega melihat bendera kecil itulah, atas inisiatif sendiri laskar Peta Pacitan ini beniat mencari kcrin yang lebih besar untuk bendera.
“Kalau tak salah Bu Fat sudah mempunyai kain seprai putih yang cukup panjang,” tambahnya.
Tanpa tahu harus menuju ke mana untuk mencari kain merah, pemuda kelahiran Madiun, 20 Oktober 1920, ini lantas berjalan menyusuri rel KA dari Pegangsaan sampai Pasar Manggarai. Di pinggir pasar ia melihat sebuah warung soto bertenda kain merah.
Nah, kebetulan pikirnya. “Saya tak lagi mikir jenis kainnya bermutu atau tidak. Meski saya lihat sudah tidak begitu bagus bahkan sudah robek, pokoknya kain tersebut masih bisa dipakai,” kenangnya.
Maklum, di zaman Jepang mutu kain yang dikonsumsi rakyat amat jelek. Terdorong rasa kebangsaan yang meluap-luap untuk segera mendapatkan kain bakal bendera itu, Kustaryo segera mendatangi si pemilik warung tenda. Satu-satunya yang dipikirkan, bagaimana caranya mendapatkan barang tersebut.
“Saya beli kain ini dengan harga Rp500,00, terdiri atas lima lembar ratusan uang zaman Jepang dari kocek saya sendiri. Melihat uang segitu banyak, si tukang warung hanya terbengong-bengong saja. Transaksi waktu itu tidak berlangsung lama.”
Setelah itu buru-buru ia membawa kain merah tersebut ke rumah Ibu Fat. Begitu diserahkan, Kustaryo langsung pergi lagi. Bahkan ketika bendera itu dikibarkan pada saat proklamasi, ia pun tidak tahu.
“Setelah itu saya lalu pergi dari Jakarta, kembali bergabung dengan rekan-rekan pejuang lain. Maklum waktu itu tentara Jepang yang bersenjata masih banyak berkeliaran. Belum lagi pasukan Inggris,” kenangnya.
Selang beberapa tahun kemudian, suatu hari Kustaryo ketemu Ibu Fat lagi di Yogyakarta. Iseng-iseng ia bertanya apakah bendera pusaka yang dikibarkan pada saat proklamasi tersebut, adalah bendera yang kain merahnya pemberian dia dulu.
“Bu Fat menjawab, benar! Kain merah yang saya jahit itulah pemberian Saudara. Saudara memang sungguh berjasa. Terima kasih … saya sampai lupa,” begitu jawaban Ibu Fat seperti yang ditirukan Kustaryo.
Versi lain riwayat bendera pusaka ini, menurut Kustaryo memang belum pernah diketahui umum. Apalagi beberapa saksi mata yang melihat Lukas memberikan kain tersebut kepada Ny. Fatmawati, semuanya sudah tiada. “Selain Bu Fat, yang sempat melihat adalah BungKarno dan supir pribadi mereka. Kalau tidak salah namanya Pak Sarip,” kenang kustaryo. (ios)
sumber
Anda sekarang membaca artikel Cerita Dibalik Bendera Pusaka RI yang Tidak Diketahui Banyak Orang dengan alamat link https://cleaning-poles.blogspot.com/2017/08/cerita-dibalik-bendera-pusaka-ri-yang_13.html
Judul : Cerita Dibalik Bendera Pusaka RI yang Tidak Diketahui Banyak Orang
link : Cerita Dibalik Bendera Pusaka RI yang Tidak Diketahui Banyak Orang
Cerita Dibalik Bendera Pusaka RI yang Tidak Diketahui Banyak Orang
Cerita Dibalik Bendera Pusaka RI yang Tidak Diketahui Banyak Orang Setiap tanggal 17 Agustus di seluruh nusantara pasti berkibar jutaan Sang Merah Putih dalam berbagai ukuran dan keadaan. Dari sejarah, orang pun tahu kalau Sang Saka Merah Putih yang berkibar untuk pertama kalinya 72 tahun lalu itu dijahit sendiri oleh Ibu Negara pertama RI Ny. Fatmawati. Tapi siapa sangka, kain merah bendera pusaka tersebut, ternyata bekas kain tenda sebuah warung kaki lima.Seorang pelaku sejarah, Brigjen TNI (Purn) Lukas Kustaryo menuturkan bagaimana lika-likunya saat ia berupaya mencari kain merah untuk bendera pusaka. Konon, ide ini pun muncul secara tiba-tiba. Kala itu dari kancah romusha di Bayah, Banten Selatan, Shodanco Lukas diberi tugas secara inkognito membawa surat pribadi Tan Malaka untuk Bung Karno di Jakarta.
Sesampainya di Jl. Pegangsaan Timur no. 56, Kustaryo melihat Ny. Fatmawati menjahit bendera merah putih. Saat itu bulan Agustus 1945, para tokoh pergerakan memang sudah terlihat sibuk mempersiapkan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia. Apalagi di kediaman Bung Karno terlihat kesibukan yang tidak seperti biasanya.
“Tapi saya lihat benderanya terlalu kecil, kira-kira hanya berukuran panjang setengah meter. Dalam hati saya berkata, kayaknya nggak pantas. Untuk proklamasi kok benderanya tak begitu bagus,” begitu ujar Kustaryo.
Karena tidak tega melihat bendera kecil itulah, atas inisiatif sendiri laskar Peta Pacitan ini beniat mencari kcrin yang lebih besar untuk bendera.
“Kalau tak salah Bu Fat sudah mempunyai kain seprai putih yang cukup panjang,” tambahnya.
Tanpa tahu harus menuju ke mana untuk mencari kain merah, pemuda kelahiran Madiun, 20 Oktober 1920, ini lantas berjalan menyusuri rel KA dari Pegangsaan sampai Pasar Manggarai. Di pinggir pasar ia melihat sebuah warung soto bertenda kain merah.
Nah, kebetulan pikirnya. “Saya tak lagi mikir jenis kainnya bermutu atau tidak. Meski saya lihat sudah tidak begitu bagus bahkan sudah robek, pokoknya kain tersebut masih bisa dipakai,” kenangnya.
Maklum, di zaman Jepang mutu kain yang dikonsumsi rakyat amat jelek. Terdorong rasa kebangsaan yang meluap-luap untuk segera mendapatkan kain bakal bendera itu, Kustaryo segera mendatangi si pemilik warung tenda. Satu-satunya yang dipikirkan, bagaimana caranya mendapatkan barang tersebut.
“Saya beli kain ini dengan harga Rp500,00, terdiri atas lima lembar ratusan uang zaman Jepang dari kocek saya sendiri. Melihat uang segitu banyak, si tukang warung hanya terbengong-bengong saja. Transaksi waktu itu tidak berlangsung lama.”
Setelah itu buru-buru ia membawa kain merah tersebut ke rumah Ibu Fat. Begitu diserahkan, Kustaryo langsung pergi lagi. Bahkan ketika bendera itu dikibarkan pada saat proklamasi, ia pun tidak tahu.
“Setelah itu saya lalu pergi dari Jakarta, kembali bergabung dengan rekan-rekan pejuang lain. Maklum waktu itu tentara Jepang yang bersenjata masih banyak berkeliaran. Belum lagi pasukan Inggris,” kenangnya.
Selang beberapa tahun kemudian, suatu hari Kustaryo ketemu Ibu Fat lagi di Yogyakarta. Iseng-iseng ia bertanya apakah bendera pusaka yang dikibarkan pada saat proklamasi tersebut, adalah bendera yang kain merahnya pemberian dia dulu.
“Bu Fat menjawab, benar! Kain merah yang saya jahit itulah pemberian Saudara. Saudara memang sungguh berjasa. Terima kasih … saya sampai lupa,” begitu jawaban Ibu Fat seperti yang ditirukan Kustaryo.
Versi lain riwayat bendera pusaka ini, menurut Kustaryo memang belum pernah diketahui umum. Apalagi beberapa saksi mata yang melihat Lukas memberikan kain tersebut kepada Ny. Fatmawati, semuanya sudah tiada. “Selain Bu Fat, yang sempat melihat adalah BungKarno dan supir pribadi mereka. Kalau tidak salah namanya Pak Sarip,” kenang kustaryo. (ios)
sumber
Demikianlah Artikel Cerita Dibalik Bendera Pusaka RI yang Tidak Diketahui Banyak Orang
Sekianlah artikel Cerita Dibalik Bendera Pusaka RI yang Tidak Diketahui Banyak Orang kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Cerita Dibalik Bendera Pusaka RI yang Tidak Diketahui Banyak Orang dengan alamat link https://cleaning-poles.blogspot.com/2017/08/cerita-dibalik-bendera-pusaka-ri-yang_13.html
Cerita Dibalik Bendera Pusaka RI yang Tidak Diketahui Banyak Orang
Reviewed by Nusantara Cleaning
on
Sunday, August 13, 2017
Rating:
No comments: